Salam cinta dari Viksi NET,
Selamat datang kembali di Viksi Net, ya akhirnya kita berjumpa lagi dalam kondisi dimana kita dalam keadaan yang bahagia dan sehat tentunya. Jika kemarin ada sahabat kita yang dirahasiakan namanya mengirimkan sebuah cerpen, maka edisi kali ini juga sama ada yang mengirimkan hasil karya tulisnya. Emmm nama Pengirimnya adalah Em, dengan judul cerpennya "Pengemis". Seperti apa isi ceritanya, mari kita simak bersama.
PENGEMIS
"Nyuwun, Bu... Tiang kalih..." Suara panggilan itu kudengar pada jam makan siangku di rumah.
"Bu.. Pak.. Nyuwun... Tiang kalih, Bu.. Pak.." Sekali lagi kudengar. Suara perempuan. Aku melanjutkan makanku tapa pedulikan asal suara.
"Mbok mandek sih mangane, kae diurusi ono wong ngemis!" Ibuku yang baru selesai salat Dhuhur, tiba-tiba menegurku, menyuruhku berhenti makan dan memerhatikan pengemis.
Aku segera menghentikan aktivitas makan siangku dan berjalan menuju kulkas. Di atas kulkas, ada kaleng berisi uang recehan yang sengaja disediakan oleh ibuku untuk tiap saat ada pengemis meminta-minta.
Kuambil dua receh keping lima ratus rupiah. Kuberikan recehan itu pada pengemis yang keduanya tengah berdiri di depan pintu rumahku yang memang selalu terbuka itu.
Dengan wajah setengah jengkel, kuberikan uang itu dan sepertinya aku memang sengaja agar uang itu terjatuh. Salah satu pengemis itu mengucapkan terimakasih sambil berusaha meraih recehan yang terjatuh. Aku memasang muka sinis. Sangat sinis.
"Dasar pengemis!" Dalam hati saja aku mengumpat demikian.
Keduanya, sekali lagi berterimakasih. Aku hanya berdehem sebagai balasan ucapan terima kasih mereka. Kemudian kulanjutkan aktivitas makan siangku di ruang makan.
"Kalau ada pengemis datang, langsung saja diberi. Wong uangnya juga ada." Ibuku yang sudah melepas mukena dan hendak mengambil nasi, mencoba memperingatiku.
"Iya, Bu." Kujawab singkat.
"Sama, kamu ini, jangan pernah sekali lagi menjatuhkan uang yang hendak kamu berikan ke pengemis seperti tadi." Ucap Ibu kemudian. Rupanya ibuku tadi memperthatikan juga.
Aku merasa dongkol dan tiba-tiba begitu membenci pengemis seketika itu juga.
Kuselesaikan makanku segera. Ibu pasti masih akan memberi lebih banyak wejangan mengenai pengemis ini lagi. Aku tak mau terpaksa mendengarnya.
Keesokan harinya, dan setiap hari, rumahku selalu didatangi pengemis minimal tiga pasang. Biasanya mereka memang "bekerja" dua-dua. Maka kalimatnya yang sudah sangat kuhafal seperti "tiang kalih, Bu.. Pak.." itu, yang maksudnya, "dua orang, Bu.. Pak.." Seakan-akan menegaskan bahwa kita yang dimintai, haru memberi uang 500 rupiah kali dua.
Pemahaman mengenai "tiang kalih" ini benar-benar membentuk pola pikir orang di lingkunganku bahwa setiap satu pengemis yang datang, "harus" diberi uang 500 rupiah. Ini sudah seperti menjadi kesepakatan bersama saja rasanya. Aku bahkan pernah sekali dimarahi ibuku hanya karena memberi dua pengemis dengan hanya 500 rupiah. Itu jatah untuk satu orang, kata ibuku. Kalau yang meminta dua orang, ya beri 1.000 rupiah, lanjutnya kala itu.
"Aku ta kan rela bila kau tinggalkan.." Ini nyanyian dengan genjrengan gituar yang sangat tidak pas pada liriknya. Kudengar nyanyian ini dari seorang pemuda seusiaku yang sedang mengamen di depan pintu rumahku.
"Bajingan! Kalau enggak pengemis, pengamen!" Aku menggerutu siang di hari lain sewaktu sedang bekerja di ruang kerjaku di rumah.
Karena aku sedang sendirian di rumah, kedua orang tuaku sedang menjenguk tetangga di Rumah Sakit, maka pengamen itu kuhampiri dengan muka kesalku. Kuusir dengan kasar.
"Mas, tolong sampean enggak usah ngamen di sini deh. Ini yang terakhir!" Kuberikan selembar uang 5.000 rupiah ke si pengamen. Ia nampak bingung dan di wajahnya nampak mengimbangi wajah kesalku. Ia menggerutu yang tak kudengar karena aku sudah segera menutup pintu rumah dan menguncinya.
"NGAMEN GRATIS!!!" Kalimat ini kucetak pada selembar kertas berukuran A4. Lalu kulaminating, dan kuberi tali agar ia bisa kugantung di depan pintu rumahku.
Ibuku di kemudian hari, meski tak secara langsung menolak apa yang kulakukan itu, nyatanya tak menyukai tindakanku tersebut dengan "mengusir" pengamen seperti yang sering kulihat, kalimat usiran persuasif itu, di banyak toko-toko di pinggir-pinggir jalan.
"Sudah, enggak usah ikut-ikutan orang lain. Lagian ini kan rumah, biar saja siapa pun datang ke sini dengan tujuan apapun asal bukan mencuri. Ibu tak suka pintu rumah kita kamu pasang tulisan semacam ini!" Hari berikutnya, kukira kekesalan ibuku sedang memuncak sehingga berbicara begitu terhadapku sambil memegang tulisan yang kulaminating kemarin.
Aku terdiam dan kubiarkan ibuku membuangnya.
Hari terus berganti dan waktu berjalan tiada henti. Aku masih membenci para peminta-minta yang tiap hari datang mengunjungi rumahku, dan sebagian besar tetanggaku. Setiap hari ibuku "harus" menyediakan sedikitnya 3.000 rupiah uang receh untuk diberikan pada siapa pun yang mengemis.
Hari ini, Jum'at Kliwon. Pada hari ini, sudah dapat dipastikan rumah-rumah di daerahku tidak didatangi pengemis. Entahlah aku kurang paham alasannya. Barangkali para pengemis, pergi Kliwonan ke mall-mall untuk berbelanja. Atau kumpul bersama keluarga besarnya membahas strategi mengemis. Atau apalah entah aku tak tahu dan sebetulnya tak mau tahu. Yang jelas, Jum'at Kliwon menjadi satu-satunya hari di mana tak ada pengemis berkeliaran. "Pengemis-Free-Day", sepertinya secara tak sengaja resmi diadakan tiap hari Jum'at Kliwon.
Jam 2.15 aku sedang membaca buku di ruang tamu saat tiba-tiba ada suara kudengar mengucap salam sembari mengetuk pintu. Sesaat kemudian kubuka pintu. Kulihat seorang pemuda berwajah gelap dan kukira wajahnya begitu lusuh. Penampakan itu terbantu oleh pakaiannya. Ia memakai peci dan baju putih, sedangkan celananya berwarna hitam. Di tangannya, terdapat map berwarna merah.
"Assalamu'alaikum.. Nyuwun sewu, Mas.." Ucapnya.
"Ya, wa'alaikumussalam." Jawabku yang segera kupahami apa yang diharapkan orang di hadapanku ini.
"Kulo saking pondok pesantren......" Orang itu menyebut nama pondok pesantren dan tujuannya datang ke rumahku.
Aku segera mengumpat dalam hati, "Bangsat. Masih ada saja."
Kupersilakan orang itu masuk dan aku menuju kamar untuk mengambil uang.
Ini adalah tradisi, entah di keluargaku saja atau juga di lain keluarga, yang mana jika pengemis berpakaian lusuh seperti ibu-ibu, atau pengamen dengan suara yang sangat apa adanya, kita beri setiap orang uang 500 rupiah. Beda jika yang datang meminta adalah orang "utusan pesantren", dengan atau tanpa membawa kalender (biasanya memang yang mengatasnamakan diri dari pesantren, meminta dengan cara menawarkan kita untuk membeli kalender yang mana hasilnya akan dipergunakan untuk pembangunan pesantren yang bersangkutan), maka kita memberi mereka dengan nominal yang lebih. Minimal 5.000 rupiah jika kita tak mau membeli kalendernya. Atau membeli kalender dengan seharga antara 10.000 sampai 25.000 rupiah.
Saat kutinggalkan orang itu, aku tak menyadari apa saja yang ada di ruang tamu dan sedikit pun aku tak akan mengira orang tadi akan berani mengambil sesuatu di sana. Maka saat kembali ke ruang tamu, kulihat orang itu tersenyum, di tanganku, ada amplop kecil yang sisipkan uang 20.000 di dalamnya. Aku tadinya mau menyisipkan uang 1.000 atau 2.000 rupiah, namun, maaf, sialnya uang itu tak ada.
Kusodorkan amplop kecil itu pada orang tadi. Ia tersenyum lebar masih memegangi map. Lalu map itu dibuka dan disodorkan ke tanganku. Kulihat ada beberapa nama orang dengan tanda tangan di sampingnya. Aku melambaikan tangan tanda tak usah kuisi form itu. Namun dengan jelas, aku melihat logo pesantren dengan nama pesantrennya yang sampai sekarang masih kuingat lengkap dengan alamatnya.
Lelaki tadi pun pamitan. Aku mengangguk dengan muka sinis namun tak kuhadapkan ke orang itu. Ia lalu keluar dari pintu rumahku. Aku melanjutkan membaca buku. Hingga tertidur.
Pukul 4 sore, aku dibangunkan ibuku.
"Bangun, Rif. Arif, bangun. Ngashar dulu sana." Aku gelagapan. Kugapai-gapai tanganku mencari buku yang tadi kubaca dengan masih setengah sadar.
Seakan tahu apa yang kucari, ibuku bilang, "Sudah ibu pindah ke mejamu."
Aku mulai sepenuhnya sadar. Lalu segera bangkit dari sofa ruang tamu, berjalan ke kamar mandi.
Usai mandi dan salat Ashar, aku kembali ke ruang tamu dengan secangkir kopi dan buku tadi. Menghabiskan waktu sorre dengan membaca buku adalah aktivitas favoritku. Apalagi dengan kusediakan sendiri kopi hitam, ah, aku serasa puas. Semua pikiranku tentang dunia, segera terlupakan. Termasuk tentang pengemis, pengamen, dan peminta sumbangan yang sering mengatasnamakan pesantren.
Di tengah aktivitas membacaku, aku merasa ingin sekali mencatat sesuatu. Ada kalimat indah di buku yang tengah kubaca. Dan seperti kebiasaanku, aku ingin mencatat "quote" itu dengan hapeku.
Aku segera mencari-cari di mana hape yang biasa kupakai mencatat. Kucari di seluruh sisi ruang tamu. Tak ada. Di kamarku, kuobrak-abrik lemariku, tak kutemukan. Bahkan aku sempat memeriksanya di atas lemari, yang bahkan jika kupikir dengan nalar warasku, mustahil kutaruh hape di sana.
"Bu'e.. Lihat hapeku?" Aku mulai cemas saat bertanya pada ibuku.
"Enggak." Jawab ibuku singkat. Beliau sudah memakai mukena untuk siap-siap jamaah Maghrib ke musala dekat rumah. Adzan Maghrib berkumandang, aku masih mencari-cari hapeku. Aku sudah lupa tujuanku mencari hape, malahan.
Kucoba memberi panggilan ke nomor di hapeku dengan memakai hape Bapakku. Tidak tersambung.
"Bajiiiingaaaannn..." Aku mulai mengumpat lirih entah kutujukan pada siapa atau apa.
"Kok enggak aktif sih?" Kutanyai sendiri diriku sambil terus mencoba melakukan panggilan ke hapeku yang hilang.
Iya, hapeku hilang!
Aku lalu teringat, katanya salat bisa membuat kita jadi teringat sesuatu yang telah kita lupakan. Aku pun salat. Dan, kepada Tuhanku, Allah Ta'ala, aku memohon ampun karena jujur saja aku salat Maghrib waktu itu, kuniati agar aku dapat menemukan di mana hapeku. Tentang Lillahi Ta'ala, kuakui saat itu jauh kuabaikan.
Usai salat, ternyata aku hanya mengingat bahwa terakhir kutaruh hapeku di meja ruang tamu siang tadi saat membaca buku yang berakhir aku ketiduran.
"Ya Tuhan!" Aku tiba-tiba memekik seakan teringat sesuatu. Peminta sumbangan itu! Iya!
"Bangsaaaaaattt..." Kuumpat keras-keras tanpa tersadar bahwa itu hal paling bodoh dan hina karena kulakukan usai salat, yang seharusnya kugunakan untuk membaca-baca wirid memuji Tuhanku.
Aku kemudian mencoba menghubungi teman-temanku yang kuingat nomernya. Kukabari bahwa sementara nomerku tak bisa dihubungi. Kukabarkan pula pada mereka aku baru saja kehilangan hape. Satu dari teman-temanku itu menawariku untuk mencarinya dengan, entah bagaimana caranya aku kurang paham. Karena, kata temanku, hape bersistem operasi Android, bisa ditemukan kalau hilang.
Kuserahkan saja pencarian pada temanku itu.
Semalaman, aku terus menanyai temanku. Hingga akhirnya di tengah malam, temanku itu memberi kabar bahwa hapeku sekarang sudah berada di luar kota. Ia menyebut sebuah lokasi. Namun aku yang sudah lemas hanya mengucapkan terimakasih pada temanku itu. Aku tak berniat mengejar barang yang sudah hilang. Terlebih ia sudah berada jauh. Kuakui aku sedih merelakan hal ini.
Hari-hari kemudian silih berganti. Waktu-waktu kulewati seperti hari-hari biasanya. Kerja menjadi sekretaris Bapakku dalam urusan bisnisnya di dunia Batik. Seperti hari-hari biasa juga, pengemis, pengamen, dan peminta sumbangan, silih berganti datang ke tempatku, ke rumah-rumah. Dan aku tetap membenci mereka.
Aku masih tetap memasang wajah jengkel tiap kali memberikan recehan pada pengemis dkk.
"Nyuwun, Pak Kaji.. Tiang kalih.." Sura itu kudengar suatu siang. Seperti biasa.
"Bu Kaji, nyuwun, Bu... Tiang kalih, Bu..."
Aku tengah mencatat data-data yang begitu penting. Tadi pintu rumah sudah sengaja kututup, tapi dibuka lagi oleh Ibuku sebelum beliau ke luar untuk menjemur pakaian. Ibuku sedang di depan rumah tetangga, ngobrol seperti biasa. Sedang Bapakku, entah di mana, mungkin di belakang. Hal ini membuatku menjadi satu-satunya yang "berkewajiban" melaksanakan tugas memberi pengemis.
Telingaku panas karena terus-menerus mendengar suara pengemis itu. Aku, kali ini sangat jengkel. Aku berdiri dengan menendang kursi tempatku duduk. Sebuah tindakan bodoh, memang.
Di sakuku ada uang receh, kulempar ke wajah dua pengemis itu sambil kuusir dengan ungkapan kasar.
"Kenapa kalian ini tidak bisa berhenti mengemis?!" Aku berkata dengan nada tinggi dan suara keras.
Kulihat kedua pengemis itu seperti sedih. Keduanya berkali-kali meminta maaf sambil memungut receha yang kulemparkan. Salah satu dari mereka, yang menggendong anak kecil, kulihat seperti menangis.
Aku masih menyisakan jengkelku saat kembali ke ruang kerjaku.
Ibuku datang tiba-tiba. Sudah kuduga karena tadi Ibu melihat apa yang kulakukan dari rumah tetangga di mana ibuku ngobrol.
Aku dimarahi habis-habisan. Membuatku semakin jengkel. Bukan pada Ibu yang memarahiku. Tapi pada pengemis yang membuatku dimarahi ibuku.
Malam harinya, malam Selasa. Ada pengajian rutin di musala dekat rumahku. Aku ikut, seperti biasa beersama orang-orang.
Dari pengajian itu, aku mendengar, sang Kyai kami menjelaskan mengenai suatu ayat surah Al Baqarah ayat 263 yang berbunyi, "..qoulun ma'rufun khoirun min shodaqotin yatba'uha adza..." Yang oleh Kyai kami diterjemahkan, "..ucapan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari pada sedekah yang diiringi ucapan yang menyakitkan (si penerima)..."
Saat itu juga, aku tersadar. Aku telah melakukan kesalahan. Terngiang-ngiang olehku ucapan ibuku tadi saat memarahiku, "..mereka itu kita sebut pengemis saja sudah berarti kita hina meski memang demikian adanya. Tapi dengan kelakuanmu merendahkan seperti tadi, itu justru membikin kamu menjadi orang yang sejatinya lebih hina dibanding pengemis. Karena kamu telah menghina agamamu!"
Tadi saat ibu mengucapkan kalimat panjang itu, aku hanya tertunduk dan bertanya-tanya, bagaimana bisa aku disebut "..menghina agama.." Padahal yang kulakukan adalah menghina pengemis?
by EM
Hemmm ceritanya sungguh-sungguh menarik, sekali lagi saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada sahabat Viksi NET bernama Em, sukses terus dengan karya-karyanya ya sob. Hemmm mungkin ada yang mau mengirimkan cerpen, silahkan Viksi akan terbitkan jika memang sesui dengan syarat dan ketentuan hehe. Sampai jumpa sampai bertemu kembali, salam cinta dari Viksi NET.
Okey siap mas semoga terhibur
BalasHapus